RETHINKING “FREE THINKING”

Berpikir Ulang tentang “Kebebasan Berpikir

Oleh: Abdurrahman El-Hafid

Kebebasan berpikir adalah hak azazi setiap manusia. Mereka boleh berpikir apapun yang mereka pikirkan dalam lintasan pikirannya. Menempatkan pikiran dalam kelas satu hidupnya. Bertindak menembus batas commonsense dalam keseharian. Bahkan, dalam puncak kepuasannya untuk berpikir bebas, mereka anggap pikiran adalah Tuhan bagi mereka. Inilah pemikiran liar para pemikir yang melewati batas norma kemanusiaan.

Beginilah kebebasan berpikir banyak diartikan orang. Dunia literasi mencatat banyak dari mereka yang mencoba mengarungi samudera kebebasan berpikir, namun terjerumus pada berpikir yang liar.

Mari kita rehat sejenak untuk membaca sebuah catatan yang penulis ambil dari sebuah blog di internet tentang kebebasan berpikir. “Tidak boleh ada represi dan ancaman untuk setiap gagasan, apapun gagasan itu, Dalam berbagai tulisan dan ceramahnya, Cak Nur (Panggilan Akrab Nurcholish Madjid) selalu menyebutkan pentingnya menghormati pendapat, sekalipun pendapat itu bertentangan dengan keyakinan paling mendasar kita. “ Jika Tuhan saja membebaskan seseorang untuk menjadi atheis, maka tidak ada hak bagi manusia untuk melarang ateisme. Kebebasan adalah kata-kata kunci bagi ide modernitas, dan merupakan benteng bagi keabsahannya.

Banyak catatan tentang “Free Thinking” atau kebebasan berpikir bagi mereka yang terus menyelam ke dalam lautan berpikir. Banyak dari mereka melahirkan pemikiran baru yang dianggap sebuah hasil dari kreativitas, padahal mereka telah meniru kreativitas Tuhan. Mengadopsi hukum dengan penafsiran lepas, menerjemahkan Al-Qur`an dengan penerjemahan yang bebas. Jauh mendalam bersentuhan dengan alam pikiran yang liar. Mereka dianggap berprestasi dalam komunitasnya karena telah menelurkan sebuah pemikiran baru dalam beragama, bergaul dan berpendapat. Alih alih mengembangkan diri untuk terlihat lebih kreatif, akhirnya terjerumus dalam lingkaran liar kebebasan berpikir.

Ini pulalah yang terjadi di dunia kampus, virus-virus kebebasan berpikir tengah menjalar hebat dari si-empunya, menggelitik kaum muda untuk bergerak mengatasnamakan kreativitas, namun menggerogoti aqidah serta pemahaman sakral yang harusnya utuh dan murni atau disebut dengan “Syumuliyatul Islam” .

Metode dan banyak cara mereka lakukan untuk dapat membuat kebebasan berpikir jadi terlihat amat logis untuk dilakukan, padahal begitu pulalah tabi`at dan bunga-bunga setan, selalu membuat dosa agar terlihat amat logis bagi para pelakunya.

Ini adalah waktu yang tepat untuk berpikir kembali tentang kebebasan berpikir. Ini tidaklah komprontatif dalam benturan peradaban, namun beginilah membangun peradaban. Bumi tidak akan merelakan generasi muda arsitek peradaban ini dibiarkan begitu saja merusak tatanan yang ada dalam dunia ini. Mari kita rapihkan kembali taman-taman pemikiran kita yang sudah mulai ditinggal oleh kumbang indah kemurnian Al-Islam.

Al-Islam adalah agam yang utuh yang memiliki akar, dimensi sumber dan pokok-pokok ajarannya sendiri. Kemurniannya dijaga melalui Al-Qur`an, tidak bisa dirubah, ditiru ataupun dihancurkan. Ia tetap berdiri tegak dalam kesatuan umat. Konsistensi umat dalam memeluk Islam adalah Al-Jama`ah atau Firqoh Naziyah (kelompok yang selamat) dan bagi mereka yang menyimpang adalah termasuk dalam firqoh-firqoh halika (kelompok yang binasa). Keberadaan firqoh yang menjurus pada kebinasaan terus bertambah jumlahnya dan pengikutnya. Lihat saja sebuah jaringan yang menamakan dirinya sebagai kaum pembaharu pemikiran Islam. Mereka mencoba masuk dalam ranah-ranah sentral di perguruan-perguruan Islam di seantero Negeri berpendduduk mayoritas beragama Islam ini. Pemikirannya (red; liberalisme) muncul sekitar abad 18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada di gerbang keruntuhan. Pada saat itu tampilah para ulama untuk mengadakan gerakan pemurnian, kembali kepada Al-Qur`an dan sunnah. Pada saat itu muncullah cikal bakal faham liberal awal melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762). Menurutnya, Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya.

Hal ini juga terjadi di kalangan syi`ah. Aqa Muhammad Bihbihani (Iran,1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar. Sampai pada memasukkan mata pelajaran sekuler ke dalam kurikulum pendidikan Islam (Charless Kurzman xx-xxiii).

Begitulah sekilas sejarahnya, Sampai pada Indonesia, banyak tokoh yang dilahirkan dari rahim liberalisme. Mulai dari anak buah Fazlur Rahman yang pernah kuliah di Chicago yang banyak sekarang ada di Indonesia.

Kemudian mendukung kelahiran Jaringan Islam Liberal (JIL). Tak usah penulis menyebutkan siapa saja yang masuk ke dalam jaringan tersebut, kita dapat searching di banyak media, apalagi internet.

Tanpa harus menghakimi paradigma pemikiran dewasa ini, maka penulis sangat berharap menjadi bagian dalam perubahan misinterpretasi kebebasan berpikir tersebut. Peran kaum muda sangatlah penting, dilihat dari berbagai aspek maka kaum mudalah yang banyak terlibat dalam aktivitas produktif di seluruh lapisan kerja, apalagi soal pemikiran. Walaupun tak banyak orang yang perduli dengan pemikiran, mereka seolah acuh tak acuh dengan perkembangan berpikir, padahal kita adalah lahir dari sebuah pemikiran besar Tuhan.

“Warna dari sebuah kebebasan berpikir adalah pemenuhan kata-kata pada nilai yang salah, sementara warna yang sesungguhnya pemikiran yang berdasarkan Al-Qur`an dan Al-Hadits”.

0 komentar:

 

Design in CSS by TemplateWorld and sponsored by SmashingMagazine
Blogger Template created by Deluxe Templates