Bacalah! : Sebuah Pesan dari Langit
Membaca adalah pesan langsung dari langit, penuh makna mengawali perjalann suci ke-Rasul-an Muhammad dengan diturunkannya ayat “Bacalah!” dalam wahyu pertama Al-Qur`an surat Al-Alaq. Inilah interpretasi menyelam pengetahuan di lautan tanpa basah, melihat galaxi di langit tanpa terbang, mengetahui isi tubuh kita tanpa masuk dan dioperasi, merasakan gawatnya perang diponogoro dengan membaca, kita bisa tau perjalanan hijrah Nabi dengan membaca, berada dimana saja tanpa bergeser dari tempat duduk dengan membaca. Dunia ini bisa kita genggam kalu mata kita cinta baca.
“Bacalah!”[1] kalimat ini mengawali perjalann sejarah manusia ke depan, mengawali sebuah peradaban baru, menerobos nilai-nilai kejahiliahan, menggema untuk merubah sebuah kebiasaan. Indahnya Al-Qur`an, mengawali sejarah turunnya wahyu dengan pesan yang mengandung makna terdalam dalam hidup. Padahal waktu itu Rasulullah SAW adalah orang yang ummi, namun inilah Allah yang maha mengetahui dari apa yang kita tidak ketahui. Aktivitas membaca bukanlah pesan kosong dari para pecinta buku, namun ini adalah pesan dari langit yang melalui malaikat Jibril disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.
Karena membaca adalah pesan dari langit, maka begitu pulalah apa yang telah dilakukan oleh para pewaris para Nabi, yaitu para salafussalih yang seluruh hidupnya dihabiskan dengan membaca. Mari kita belajar dari potret hidup mereka, potret spirit of reading yang begitu tinggi dan menempatkan membaca dalam posisi yang sangat mulia sebagaimana pesan dari langit.
Bersama buku hingga di surga
Al-Hafizh Abul Ala` Al-Hamadzani seorang ulama terkemuka di Baghdad yang begitu cinta dengan ilmu, menghabiskan waktunya untuk membaca dan terus membeli serta mengoleksi buku. Beliaulah ulama yang diriwayatkan pernah bermimpi berada di suatu kota yang sangat indah yang semua dindingnya terbuat dari buku. Di sekelilingnya juga banyak buku yang memenuhi ruangan tersebut. Pada saat itu ada yang bertanya kepada dirinya, “Ada apa dengan buku-buku ini?” Ia menjawab, “Saya pernah memohon kepada Allah agar Dia menyibukkan saya dengan kesibukan yang pernah saya lakukan di dunia, dan Dia pun mengabulkannya di Surga”.
Begitulah kecintaan seorang ulama terhadap buku-buku yang dibacanya, sampai kecintaannya mengantarkan dirinya menebus mimpi berada di surga bersama buku.
Teman sepanjang hidup
Abu Abdullah bin Al-A`rabi, seorang penulis buku terkenal bernama Al-Gharib. Ia pernah ditanya tentang pendapatnya, “Siapakah orang yang membuat Anda merasa bahagia dan senang?” Maka, ia pun memegang buku-bukunya, lalu berkata, “Buku-buku ini” Kemudian, ia ditanya lagi, “Dari kalangan manusia?” Ia menjawab, “Orang-orang yang ada di dalamnya.” Lalu ia bersyair :
Bukuku adalah teman yang tak pernah bosan mendampingi
Ketika hartaku menipis, ia tetap bermuka manis
Bukuku adalah kekasihku, saat semua kekasih telah tiada
Senantiasa ia kurayu sekiranya ia faham rayuanku
Bukuku adalah rekanku, tak pernah ku hawatir ia kan bosan
Ia selalu berbincang denganku dan tak pernah takut aku kan merasa bosan
Kitabku adalah lautan yang tak pernah berkurang pemberiannya
Ia senantiasa menghamburkan hartanya untukku saat hartaku berkurang
Kitabku adalah penunujuk jalan bagiku menuju tujuan yang terbaik
Ia senantiasa membimbinngku, dan ia adalah yang mengarahkan.
(Kitab Taqyidul-`Ilmi, hlm.125)
Begitu Al-Arabi, menjadikan buku sebagai teman sejati dalam hidupnya, mebaca dan terus membaca, mengantarkan dirinya menemukan teman sepanjang hidup, bersyair menjadi pecandu buku, perindu syurga, karena membaca adalah pesan dari langit.
Selama 40 tahun tidur bersama buku di dada
Kisah yang tidak kalah menginspirasinya adalah kisah seorang ulama terkemuka yang selama 40 tahun menghabiskan umumrnya dengan tidur bersama buku di dadanya. Ialah seorang ulama masyhur sahabat Imam Abu Hanifah bernama Al-Hasan Al-Lu`lu`I Al-Kufi. Dikisahkan di dalam kitab Al-Hayawan, Al-Jahiz berkata, “Saya mendengar Al-Hasan Al-Lu`lu`I berkata, `Selama 40 tahun saya tak pernah istirahat siang, tidur malam, ataupun berbaring melainkan di atas dada saya ada buku.”
Subhanallah, yang telah menciptakan makhluk seperti Al-Hasan Al-lu`lu`I, memberikan motivasi bagi kita untuk selalu menjadikan buku dan aktivitas membaca sebagai teman tiap detiknya dari umur kita.
Beginilah potret para ulama salaf yang begitu cinta terhadap buku dan aktivitas membaca. Masih banyak ulama-ulama besar yang begitu cinta terhadap buku. Seperti ulama bernama Abdul Ghani yang matanya rabun karena kebanyakan membaca dan menelaah buku. Ibnu tabban, yang menghabiskan seluruh malamnya hanya untuk membaca. Kemudian juga ada ulama yang bersedih sepanjang hidupnya hanya karena menjual buku-bukunya, ia bernama Abul Hasan Al-Fali. Atau juga seperti Al-Mustanshir billah Abul Ash Al-Hakam bin Abdurrahman Al-Umawi (Sang Penakluk Andalusia) yang gemar sekali membaca dan mengoleksi buku, hampir 200.000 buku ia miliki dan sudah dibaca.
Segelintir kisah para ulama dan Salafusshalih tersebut adalah pecut untuk kita semua, sejauh mana kita mencintai buku dan aktivitas membaca. Mereka sebagai tonggak perjalanan peradaban ini, dan kita adalah pemilik sah dari peradaban ini. Mau dibawa kemana peradaban ini tergantung apa yang kita miliki saat ini, karena kita adalah apa yang kita baca.
Ternyata, membaca bukanlah hanya sekedar sebagai hobi, melainkan sebagai konsep hidup seseorang. Karena membaca dapat mempengaruhi pola pikir, pandangan bahkan prilaku. Diri kita sebenarnya adalah apa yang kita baca. Ketika orang itu banyak membaca buku tentang ekonomi dan bisnis, maka akan lahir benih pandangan untuk berbisnis. Begitu juga ketika kita banyak membaca buku-buku tentang biografi para tokoh, maka terkadang kita ingin sekali menjadi tokoh tersebut dan meniru tingkah laku serta kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Inilah buku, ruhnya dapat masuk ke alam bawah sadar manusia, mengrogoti setiap pemikiran yang dangkal. Orang bisa jadi sesat dan liberal karena baca buku, dapat menduduki kedudukan paling tinggi pun karena membaca buku. Begitulah tafsir modern tentang Bercinta dengan buku.
Kalau ada pertanyaan kita mau pilih kue atau buku, maka mungkin banyak orang yang memiliki kue, karena kenikmatan rasa kue yang akan langsung dinikmati. Tapi sebenarnya, kalau kita memilih kue, maka setelah kue habis dimakan kita hanya akan mendapatkan kenikmatan sesaat, kemudian rasanya akan hilang seiring habisnya kue tersebut. Namun, apabila kita memilih buku, maka boleh jadi kita akan merasakan nikmatnya buku sampai kapan pun. Apalagi kalau bukunya berisi tentang cara membuat kue, kita malah akan menciptakan banyak kue yang dapat kita makan. Maka tak salah kalau buku yang kita pilih bung!
Gerakan Masyarakat Gemar Baca
Orang-orang Eropa yang mayoritas beragama yahudi dan nasrani sedang berpikir dan berlomba-lomba agar bagaimana caranya perpustakaan buku mereka lebih besar dari rumah-rumah mereka. Mereka telah mendahului kita, padahal pesan membaca milik kita dan membumi di agama kita.
Sebenarnya, kalau kita mau kita juga bisa melakukan apa yang sedang mereka lakukan tentang ilmu dan buku. Hanya saja terkadang kita menjadi umat yang sombong, yang tidak mau mengakui kesalahan kita.
Marilah mulai saat ini kita membangun komunitas-komunitas membaca, jadikan rumah kita menjadi majelis membaca. Jadikan pojok-pojok kosong dari masjid, pasar, kebun, halaman, kamar dan kampung kita ramai dari aktivitas membaca. Demi hidup lebih baik....!
0 komentar:
Post a Comment