Mengenang 7 hari wafatnya K.H Abdurrahman Wahid (30 Desember 2009)
Oleh : Abdurrahman El-Hafid
Di penghujung akhir tahun 2009, namanya menjadi harum oleh jalan terakhir dalam kehidupan ini. Itulah jalan yang bernama “kematian”. Jalan itulah yang memisahkan jasadnya dengan ruh. Menuju kembali kepada asal muasalnya sebagai makhluk yang berasal dari tanah dan kembali kepada tanah. Namun, Jasad dan Ruhnya boleh berpisah dan kembali kehadirat-Nya, tetapi buah pemikirannya tidak akan pernah mati dan terkubur. Ia akan selalu lahir dan berkembang dengan pemikiran baru yang fresh bahkan lebih fresh dari hidupnya.
K.H Abdurrahman Wahid, hidupnya penuh kontroversi. Pemikirannya lebih teramat maju dari bangsa ini. Terkadanag celotehnya berujung pada perdebatan panjang umat ini, namun ungkapannya bisa terjawab setelah berjalan lebih lama. Dan pada saat itulah orang-orang baru sadar kalau statementnya adalah benar. Opini dan gagasannya tentang Pluralisme dan Demokrasi menjadi darah segar para pemburu dan pecinta Pluralisme dan Demokrasi di Indonesia. Tokoh yang lahir dari darah biru penyambung warna pesantren dengan modernitas ini membawa pengaruh besar terhadap kemajuan umat ini. Orang boleh mencemooh pemikirannya semasa beliau hidup, namun kematiannya meninggalkan kesan tersendiri bagi mereka yang pernah mencemooh. Mereka akan merasa kehilangan sparing partner, teman diskusi, berdebat dan bercanda ala Gus Dur.
Tokoh bangsa yang menjadi kandidat pahlawan Nasional ini benar-benar meninggalkan kesan bagi bangsa ini. Pria yang sejak berusia 14 tahun sudah mengenakan kaca mata ini benar-benar menginspirasi ratusan ribu santri di Indonesia dan lebih banyak lagi pengikutnya yang bangga akan pemikirannya dan gagasannya yang menembus batas orang biasanya. Wajarlah, karena beliau adalah cucu dari seorang ulama besar pembawa gerakan Islam di Indonesia dan pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama yaitu K.H Hasyim Asy`ari.
Dari K.H Hasyim Asy`arilah lahir K.H Wahid Hasyim sebagai seorang ulama terkemuka yang memiliki peran penting dalam kemerdekaan bangsa ini dengan keterlibatannya dalam Piagam Jakarta. Kemudian menjadi Menteri Agama pertama di Republik ini. Garis keturunan Gus Dur inilah yang membawa Gus Dur menjadi sosok yang fenomenal di kalangan santri dan umat seluruh Agama di Indonesia. Bagi kalangan santri, Gus Dur adalah satu-satunya santri yang menjadi Presiden di Republik ini. Bagi kalangan umat beragama, Gus Dur adalah tempat yang tepat untuk mengadu kegelisahan mereka untuk tinggal di Negeri mayoritas beragama Islam ini. Namun Gus Dur memiliki kepribadian yang plural dalam menerjemahkan Islam, oleh karena itulah ia juga sempat menulis sebuah buku yang berjudul Islam Kita, Islam Anda.
Penulis yakin, banyak hal yang dikenang dari seorang Gus Dur, banyak pula keinginan yang penulis ingin torehkan dalam tulisan ini. Sosok beliau menghantui otak penulis paska Gus Dur meninggal dunia. Penulis juga membongkar kembali tulisan-tulisannya dalam sebuah jurnal atau majalah Prisma yang diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1984. Tulisan yang hampir sudah punah, namun penulis mendapatkannya sudah cukup lama dan belum pernah dibacanya. Terbitan tahun 1984, 4 tahun sebelum penulis lahir, ia telah menjelma menjadi manusia pemikir dan pejuang yang sangat luar biasa. Terlihat dari tulisan-tulisannya yang begitu ringan membahas tentang social, politik, kemanusiaan, demokrasi dan banyak hal dalam kehidupan yang ia sentuh dari sudut pandang berbeda seorang Abdurrahman Wahid.
Ingin rasanya menjelmakan diri menjadi Gus Dur yang baru. Hidup dalam pemikirannya yang menembus batas orang biasanya. Bergerombol pada ilmu pengetahuan, bercinta pada buku lebih ia cintai dari pada istrinya.
Aku persembahkan tulisan ini untukmu “Abah Yai”, Do`aku menyertaimu. Aku akan lahir menjadi “The New Gus Dur” lewat pemikiran-pemikiranmu dan jejak kehidupanmu, santri yang menjadi Presiden di Republik ini. Selamat jalan sang tokoh pluralis, humanis dan liberalis….(05/01/2010)
0 komentar:
Post a Comment